BAB I

PENDAHULUAN

 

  1. LATAR BELAKANG

 

Pemerintahan Aceh dibentuk berdasarkan Sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa. Perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia menempatkan Aceh sebagai satuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa dan khusus, terkait dengan karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang tinggi.

 

Sebagai komitmen bersama atas perdamaian antara Pemerintahan RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maka dilahirkanlah Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). UUPA merupakan harapan baru bagi masyarakat Aceh untuk mewujudkan kesejahteraan dalam perdamaian abadi. Lahirnya Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) merupakan satu tonggak sejarah dalam perjalanan bangsa Indonesia, khususnya bagi masyarakat Aceh, karena dengan Undang-Undang ini tercurah harapan untuk terciptanya perdamaian yang langgeng, menyeluruh, adil, dan bermartabat, sekaligus sebagai wahana pelaksanaan pembangunan dalam rangka mewujudkan masyarakat Aceh yang sejahtera. UUPA sendiri terdiri dari 40 Bab dan 273 Pasal.

Berdasarkan undang-undang otonomi khusus Aceh dan UUPA, dalam hubungannya dengan syariat islam, maka ketentuan-ketentuan hukum islam yang berkaitan dengan hukum private seperti perkawinan, zakat, tetap berlaku. Adapun ketentuan hukum publik antara lain Qanun maisyir (judi), khamar (minuman keras), khalwat (mesum) sudah ditandatangani oleh gubernur sebagai Qanun yang dinyatakan berlaku di Aceh.

Pada tanggal 14 September 2009 Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan satu produk hukum setingkat Qanun, yaitu Qanun Jinayat yaitu Qanun Nomor 6 Tahun 2014. Kelahiran Qanun ini telah melahirkan kontroversi di tengah masyarakat, baik di tingkat lokal (Aceh), nasional, maupun internasional. Sejak pemberlakuan syari’at Islam di Aceh, terutama kaitannya dengan kelahiran Qanun, maka Qanun ini termasuk yang paling kontroversi. Tidak hanya karena banyaknya menuai pro-kontra, melainkan juga pihak yang merespon Qanun ini. Mulai dari kaum aktivis NGO (Non Goverment Organisation), akademisi, ulama, Ketua Lemhanas, hingga Ketua Mahkamah Konstitusi. Reaksi tersebut tidak hanya terjadi di Aceh dan Indonesia, melainkan juga menggetarkan dunia internasional. Persoalan yang diperdebatkanpun beragam, di antaranya adalah kejelasan definisi bentuk-bentuk jarimah yang diancam dengan ’uqubah, bentuk hukuman rajam, cambuk, serta hukum acara jinayatnya.

 

Qanun Jinayat adalah manifestasi dari syariat Islam yang diberlakukan di Aceh. Aceh dapat dikatakan sebagai Propinsi yang mengakui sistem syariah sebagai hukum asasinya sebagaimana telah mempunyai payung hukum dengan undang-undang nomor 44 tahun 1999 dan undang-undang nomor 18 tahun 2001. Dilihat dari perspektif nasional, negara Indonesia adalah termasuk sistem negara yang ketiga, yaitu yang mengkui syariat dan sistem hukum nasional berlaku bersama-sama dalam suatu Negara. Sebagaimana diketahui, Indonesia bukanlah negara yang berideologi Islam, melainkan Pancasila. Berdasarkan hal tersebut, ada suatu pertanyaan yang memerlukan analisis mendalam tentang kedudukan Qanun Jinayat itu sendiri dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

 

Berdasarkan pemaparan di atas tersebut, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai penegakan hukum di Aceh setelah berlakunya Qanun Jinayat (hukum pidana) dalam tatanan hukum di Indonesia, maka tulisan ini diberi judul “PENERAPAN QANUN NO.6 TAHUN 2014 TENTANG QANUN JINAYAT DI ACEH SERTA KEDUDUKANNYA DALAM SISTEMATIKA HUKUM INDONESIA”.

 

 

 

 

 

 

  1. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang di atas, terdapat 2(dua) hal permasalahan mengenai;

  1. Bagaimanakah Penerapan Hukum Pidana (Qanun Jinayat) di Aceh?
  2. Bagaimanakah Kedudukan Hukum Pidana (Qanun jinayat) di Indonesia?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

 

  1. SEJARAH LAHIRNYA QANUN

 

Pemberian Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam melahirkan harapan dan membuka peluang untuk tumbuhnya kreatifitas, diskresi dan kebebasan bagi Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota serta masyarakat Aceh pada umumnya untuk menemukan kembali identitas diri dan membangun wilayahnya. Peluang ini telah ditanggapi secara positif oleh komponen masyarakat, baik legislatif maupun eksekutif bahkan oleh organisasi sosial kemasyarakatan dan lembaga swadaya masyarakat.

 

Jika ditelisik lebih jauh, formalisasi dan legislasi syariat Islam di Aceh sejak masa reformasi merupakan buah dari konflik vertikal berkepanjangan yang terjadi antara Jakarta dan Aceh. Guna mengakhiri hubungan tak harmonis antara pusat dan daerah itu, pilihan formalisasi syariat Islam diberikan, di samping tentunya pemberian kompensasi yang lebih besar di bidang ekonomi dan politik. Sekalipun memiliki akar kesejarahan yang panjang untuk menerapkan hukum syariat sejak perlawanan Darul Islam (DI) di Aceh masa kepemimpinan Abu Daud Beureueh (1953-1959), namun formalisasi syariat Islam masa kini lebih menggambarkan keinginan dari atas (sharia from above) ketimbang tuntutan dari bawah (sharia from below) sebagaimana masa Darul Islam dulunya. Perbedaan antara keduanya jelas, tuntutan syariat dari bawah lebih menunjukkan kesadaran akan suatu keharusan dan kewajiban yang diyakini dapat menjaga serta menegakkan identitas Muslim yang khas di tengah terpaan badai globalisasi dan godaan informasi yang kian sulit dibendung. Sedangkan formalisasi syariat dari atas (penguasa) acapkali menjadikan syariat hanya sebagai simbol legitimasi untuk memperoleh kepentingan politik yang belum tentu sejalan dan selaras dengan kepentingan agama.[1]

 

Penyerahan otonomi khusus dan penggantian nama Provinsi Daerah Istimewa Aceh menjadi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam didasarkan kepada Undang-undang No. 18 Tahun 2001. Lahirnya Undang-undang ini dilatarbelakangi setidak-tidaknya oleh dua fenomena, satu terdapat di Aceh dan satu lagi ditingkat nasional. Yang pertama, berkaitan dengan konflik Aceh yang timbul akibat adanya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sejak tahun 1976. Sedang yang kedua berkaitan dengan reformasi yang menuntut perubahan disegala bidang kehidupan bermasyarakat dan bernegara termasuk mengubah pola hubungan antara pusat dan daerah. Reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa telah “memaksa” pemerintah untuk membuat beberapa kebijakan, diantaranya kebijakan tentang desentralisasi dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Sedang konflik Aceh yang berlangsung berlarut-larut telah “mendorong” sebagian anggota DPR untuk mengajukan usul inisiatif yang lantas melahirkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh. Melalui Undang-Undang ini Pemerintah Pusat mengakui keistimewaan Aceh, yang telah lama disandang oleh Provinsi Daerah Istimewa Aceh yaitu sejak tahun 1959. Karena Undang-Undang ini dirasakan belumcukup mengakomondir tuntutan daerah, Sidang Umum MPR tahun 1999 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1999, mengamanatkan antara lain pemberian otonomi khusus kepada Daerah Istimewa Aceh. Selanjutnya Sidang Tahunan MPR tahun 2000 melalui Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 kembali merekomendasikan agar Undang-Undang tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh dapat dikeluarkan selambat-lambatnya bulan Mei 2001. Lebih dari itu perubahan kedua atas Undang-Undang Dasar 1945 yang dilakukan MPR pada sidang tahunan tahun 2000, dalam Pasal 18 B ayat (1) mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang akan diatur dengan undang-undang. Atas dasar perubahan yang relatif dratis ini, sebagian anggota DPR kembali mengajukan usulinisiatif mengenai Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh, yang pada akhirnya disahkan sebagai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang disahkan pada tanggal 19 Juli 2001 dan diundangkan pada tanggal 9 Agustus 2001.

 

 

 

Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 Pasal 31 (1) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,” sedang pada ayat (2) dinyatakan bahwa “Ketentuan pelaksanaan Undang-Undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.” Sedang pengertian Qanun, dalam Pasal 1 angka 8 dinyatakan “Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus”.

 

Dari ketentuan ini terlihat bahwa Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam(untuk selanjutnya di singkat Qanun ) adalah peraturan untuk melaksanakan otonomi khusus dalam hal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Dengan demikian walaupun dari satu segi Qanun adalah peraturan daerah, tetapi dari segi lain Qanun tidak tunduk kepada peraturan pemerintah karena Qanun berada langsung di bawah undang-undang.

 

  1. PENGERTIAN QANUN

Pengertian Qanun sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dikenal dengan nama: Kanun, yang artinya adalah : undang-undang, peraturan, kitab undangundang, hukum dan kaidah.[2] Adapun pengertian Qanun menurut kamus Bahasa Arab adalah: undang-undang, kebiasaan atau adat.[3] Jadi dapat disimpulkan bahwa pengertian dari Qanun adalah : suatu peraturan perundang-undangan atau aturan hukum yang berlaku di suatu daerah (dalam hal ini di NAD).

 

Di masyarakat Aceh, penyebutan Qanun terhadap suatu aturan hukum atau untuk penamaan suatu adat telah lama dipakai dan telah menjadi bagian dari kultur adat dan budaya Aceh. Aturan-aturan hukum dan juga adat yang dikeluarkan oleh Kerajaan Aceh banyak yang dinamakan dengan Qanun. Qanun biasanya berisi aturan-aturan syariat Islam yang telah beradaptasi menjadi adat istiadat Aceh.

Ketentuan tentang Qanun terdapat di dalam UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, yaitu: 1. Qanun Aceh adalah : peraturan perundang-undangan sejenis[4] peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.[5] 2. Qanun kabupaten/kota adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah kabupaten/kota yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat kabupaten/kota di Aceh.[6] Dari ketentuan kedua Pasal di atas, terlihat bahwa maksud dari Qanun dapat disamakan dengan Peraturan Daerah di Provinsi lain di Indonesia, tetapi pada dasarnya pemahaman Qanun yang disamakan dengan Perda sesungguhnya tidaklah tepat. Qanun merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang diberlakukan di NAD yang isinya harus berlandaskan pada syariat Islam yang menjadi kekhususan dari NAD, hal ini berbeda dengan daerah lain yang aturan-aturan dalam Perdanya tidak harus berlandaskan ajaran-ajaran Islam. Selain itu berbeda dengan Perda lainnya di Indonesia, aturan-aturan Qanun dapat berisikan aturan-aturan hukum tentang hukum acara material dan formil di Mahkamah Syar’iah.

 

Jadi pengertian Qanun tidaklah sama dengan Perda, karena isi dari Qanun haruslah berlandaskan pada asas keislaman atau tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam. Tetapi dalam hal hirarki hukum di Indonesia, sesuai dengan ketentuan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, kedudukan Qanun dipersamakan dengan Perda di daerah lainnya. Menurut UU No.10 Tahun 2004 disebutkan bahwa:[7] jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: UUD RI Tahun 1945, UU/Peraturan Pemerintah Pengganti UU, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden dan Peraturan Daerah. Pada penjelasan Pasal 7 disebutkan bahwa: Termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Perdasus serta Perdasi yang berlaku di Provinsi Papua.

 

Berdasarkan ketentuan di atas, maka kedudukan Qanun diakui dalam hierarki perundang-undangan Indonesia dan dipersamakan dengan Perda. Pemahaman dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini dapat saja diterima dalam hal kedudukan Qanun. Pemahaman ini akan lebih mempermudah Pemerintah Pusat dalam melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap daerah, terutama yang berhubungan dengan pembentukan suatu kebijakan daerah. Hanya saja tetap harus diperhatikan tentang kekhususan yang diberikan Pusat terhadap NAD. Contohnya saja, berdasarkan kekhususan yang di berikan Pusat kepada NAD, maka DPR Aceh dapat mensahkan Qanun tentang jinayat atau peradilan pidana Islam sebagai hukum acara di Mahkamah Syar’iah. Hanya saja memang produk dari Qanun ini harus memenuhi syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh Pemerintahan Aceh seperti tidak boleh bertentangan dengan: aqidah, syar’iyah dan akhlak yang dalam penjabarannya meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.[8] Kebijakan ini tentu tidak diperbolehkan dibuat oleh perda-perda lainnya di Indonesia.

 

Berdasarkan hasil penelitian tentang kedudukan dari Qanun ini, dapat disimpulkan bahwa pengertian Qanun dapat saja dianggap “sejenis” (atau menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai : semacam, serupa)[9] dengan Perda, tetapi dari segi isinya berbeda, karena Qanun mempunyai keistimewaan yang tidak dipunyai oleh daerah-daerah lain di Indonesia.

 

Adapun kedudukan Qanun terdapat di dalam peraturan perundang-undangan sebagai berikut:

  1. UU No. 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Kedudukan Qanun terdapat di dalam Pasal 1 angka 8 yang mengatakan bahwa : Qanun Provinsi NAD adalah peraturan daerah sebagai pelaksanaan undang-undang di wilayah Provinsi NAD dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus;
  2. UU No. 10 Tahun 2004[10] tentang Pembentukan Peraturan Perundang undangan. Penjelasan Pasal 7 ayat (2) a, yang mengatakan bahwa: Termasuk dalam jenis peraturan daerah provinsi adalah Qanun yang berlaku di daerah NAD dan perdasus serta perdasi yang berlaku di propinsi Papua;
  3. UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Pasal 21 dan 22 menyatakan bahwa : Qanun adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh.

 

 

BAB III

PEMBAHASAN

 

  1. PENERAPAN QANUN JINAYAT

 

UU No. 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (selanjutnya UU PNAD) membawa perkembangan baru di Aceh dalam sistem peradilan. Pasal 25 – 26 UU PNAD mengatur mengenai Mahkamah Syar’iyah NAD yang merupakan peradilan syariat Islam sebagai bagian dari sistem peradilan nasional.

 

Mahkamah Syar’iyah adalah lembaga peradilan yang bebas dari pengaruh pihak manapun dalam wilayah PNAD yang berlaku untuk pemeluk agama Islam.[11] Kewenangan Mahkamah Syar’iyah selanjutnya diatur lebih lanjut dengan Qanun PNAD. Qanun PNAD adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan dari wewenang yang diberikan oleh UU No. 18 tahun 2001 untuk mengatur daerah dan Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materiil terhadap Qanun.[12] Mahkamah Syar’iyah tersebut terdiri dari:

  1. Makamah Syar’iyah Kabupaten/Sagoe dan Kota/Banda sebagai pengadilan tingkat pertama;
  2. Mahkamah Syar’iyah Propinsi sebagai pengadilan tingkat banding yang berada di ibukota Propinsi, yaitu di Banda Aceh.

 

Selain undang-undang ini masih ada beberapa undang-undang yang lain tentang pemberlakuan syariat Islam di Aceh, termasuk yang terakhir sekali disahkan yaitu UU No. 11 Tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh. Dalam pasal 125 ayat (1) undang-undang ini diatur bahwa syariat Islam yang dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syariah dan akhlak; ayat (2) syariat Islam tersebut meliputi: ibadah, ahwal al-syakhshiyyah (hukum keluarga), mu’amalah (hukum perdata), jinayah (hukum pidana), qadha (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar dan pembelaan Islam.

Qanun No. 10 tahun 2002 tentang Peradilan Syariat Islam untuk pertama kalinya memperluas jangkauan wewenang hukum pengadilan agama hingga di luar hukum keluarga dan warisan, termasuk transaksi ekonomi yang sebelumnya tidak termasuk dalam yurisdiksi pengadilan agama, dan juga kasus-kasus pidana (jinayat). Mu’amalat meliputi masalah jual beli; permodalan; bagi hasil pertanian; pendirian perusahaan; pinjam meminjam; penyitaan properti untuk membayar hutang; hipotek; pembukaan lahan; pertambangan; pendapatan; perbankan; perburuhan; dan bermacam-macam bentuk infaq dan sedekah.

 

Pelanggaran pidana dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Alquran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas.[13]

 

  1. KEDUDUKAN QANUN JINAYAT DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

Qanun Aceh tentang Hukum Jinayat ini merupakan hasil revisi terhadap Qanun Jinayat yang telah disahkan dan diberlakukan sejak tanggal 15 Juli 2003. QanunQanun dimaksud adalah Qanun nomor 12, 13, dan 14, masing-masing tentang khamar, maisir, dan khalwat. Kenapa Qanun ini perlu direvisi dan disempurnakan? Jawabannya dapat disimak dalam konsideran menimbang huruf a dan b Qanun tentang Hukum Jinayat berikut ini:

  1. bahwa untuk kesempurnaan hukum material yang terkandung dalam Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12/ 2003 tentang Khamar, Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13/ 2003 tentang Maisir, dan Qanun Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14/ 2003 tentang Khalwat serta pelanggaran Syari’at Islam lainnya, perlu adanya suatu pengaturan secara menyeluruh tentang Hukum Jinayat;
  2. bahwa untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan dan penegakan nilai-nilai Syari’at Islam, sesuai dengan Undangundang Nomor 44/ 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh dan Undang-undang Nomor 11/ 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan hukum material terhadap Qanun[14]

Kutipan di atas mengilustrasikan bahwa ada 2 (dua) alasan dilakukan revisi terhadap Qanun ini. Pertama, untuk menyempurnakan kekurangan hukum material dalam Qanun nomor 12, 13, 14, dan pelanggaran syari’at Islam lainnya. Di antaranya adalah;

  • Kekaburan beberapa pengertian yang terkandung dalam Qanun sebelumnya;
  • Belum adanya pengaturan tentang pengertian anak dan perlindungan anak;
  • Belum ada logika yang jelas dan konsisten tentang rasio/perbandingan antara hukuman cambuk, penjara, dan denda;
  • Batas hukuman maksimal dan minimal yang diancam kepada pelanggar terlalu ringan. Ditambah belum adanya hukuman cambuk bagi pelindung, fasilitator, dan pembantu terjadinya tindak pidana;
  • Belum ada hukum acara Jinayat yang meliputi penahanan, prosedur pelaksanaan hukum cambuk, dan perlu dimasukkannya pengaturan tentang hubungan lembaga adat dan Mahkamah Syar’iyah;
  • Pengaturan terhadap tindak pidana yang belum diatur seperti ikhtilat, musahaqah, liwat, pemerkosaan, pelecehan seksual, dan lain-lain;[15]
  • Bentuk hukuman cambuk yang dipandang oleh sebagian kalangan melanggar ketententuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan HAM;
  • Masalah non muslim atau tentera yang melakukan pelanggaran Qanun atau melakukan perbuatan pidana bersama-sama dengan orang Islam.[16]

Kedua, disesuaikan dengan undang-undang Nomor 11/ 2006 tentang Pemerintahan Aceh yang salah satu isinya adalah memberikan wewenang yang lebih luas kepada Aceh dalam penyusunan dan pelaksanaan Hukum Jinayat Aceh. Tentu saja, tetap dalam kerangka sistem hukum dan peradilan nasional. Izin dimaksud diberikan kepada Aceh (Pemerintah Aceh) untuk merumuskan atau menuliskan peraturan perundang-undangan dalam bentuk hukum positif. Izin menulis peraturan perundang-undangan tersebut meliputi baik hukum materil maupun hukum formil. Sehingga, dengan disahkannya Undang-undang Nomor 11/2006 ini, maka wewenang dan landasan yuridis pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh semakin kuat, luas, dan tegas.

 

Berdasarkan beberapa masalah dan kekurangan yang terkandung dalam QanunQanun sebelumnya, maka dipandang penting untuk segera melakukan perbaikan dan penyempurnaan terhadap Qanun dimaksud. Dalam melakukan revisi terhadap Qanun ini berpijak pada prinsip-prinsip berikut: Pertama, ketentuan-ketentuan yang akan dilaksanakan itu harus dijaga dan diupayakan sedemikian rupa agar tetap bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, yang dalam penafsiran dan pemahamannya akan berpegang pada tiga prinsip utama;

  • dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lokal (adat) masyarakat Aceh secara khusus atau dunia Melayu Indonesia pada umumnya;
  • akan diupayakan untuk selalu berorientasi ke masa depan, guna memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia yang sedang membangun di awal abad XXI miladiah;
  • guna melengkapi dua prinsip di atas dipedomani prinsip yang ketiga yaitu; al-muhafazah bi al-qadim al-salih wa alakhdzu bi al-jadid al-aslah, yang maknanya ”tetap menggunakan ketentuan-ketentuan lama (mazhab) yang masih bagus (relevan) serta berusaha mencari dan merumuskan ketentuan baru yang lebih baik dan lebih unggul.”[17]

 

Ketiga prinsip yang dikemukakan di atas sangat urgen, terutama mengingat bahwa penerapan Syari’at Islam di Aceh masih dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini membutuhkan terobosan baru karena belum memiliki model yang secara simplistis dapat dijadikan rujukan. Karena di dalam lintasan sejarah umat Islam dunia, pelaksanaan Syari’at Islam dalam perspektif ketatanegaraan selalu dalam koridor negara ”khalifah”. Dari segi waktu dan situasi, selalu dalam suasana belum adanya pengaruh imperialisme epistemologi, dan budaya Barat yang signifikan. Dengan demikian, pelaksanaan Syari’at Islam di era sekarang, khususnya di Aceh masih dalam kerangka nation state (negara bangsa). Hal ini merupakan fenomena baru yang muncul di dunia Islam pasca perang dunia II.

 

Selanjutnya, akan dijelaskan substansi/ isi Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah yang sudah disahkan oleh DPRA pada tanggal 14 September 2009. Deskripsi isi Qanun ini hanya yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian ini. Secara spesifik akan dikemukakan isi Qanun yang berkaitan dengan beberapa tindak pidana (jarimah) dan ketentuan ’uqubah. Sebelumnya, terlebih dahulu akan dikemukakan sistematika Qanun tentang Hukum Jinayah Aceh ini.

 

Secara substantif Qanun ini terdiri dari X Bab dan 50 Pasal, yang disusun dengan sistematika sebagai berikut:

 

Tabel 1. Sistematika dan Substansi Qanun Jinayah Aceh

 

No. Sistematika dan Judul Bab Bagian Pasal
1 Bab I : Ketentuan Umum 1
2 Bab II : Ruang Lingkup 2-6
3 Bab III : Alasan Pembenar dan Alasan Pemaaf 2 7-12
4 Bab IV: Jarimah dan ’Uqubah 9 13-34
5 Bab V : Gabungan Perbuatan Jarimah 35-38
6 Bab VI: Perlindungan Anak 39-40
7 Bab VI: Perlindungan Anak 2 41-42
8 Bab VIII:Ketentuan Lain-lain 2 43-45
9 Bab IX: Ketentuan Peralihan 46-47
10 Bab X: Ketentuan Penutup 48-50

 

BAB III

KESIMPULAN

 

  1. Bahwa penerapan hokum pidana di aceh berupa dibagi menjadi tiga kategori. Pelanggaran hudud meliputi zina, tuduhan palsu tentang berzina; mencuri, merampok, mengkonsumsi minuman keras, kemurtadan dan pemberontakan, adalah pelanggaran yang hukumannya ditetapkan dalam Alquran. Qishash diyat berhubungan dengan masalah pembunuhan dan penganiayaan, dan biaya dari pelaku kepada keluarga korban. Pelanggaran ta’zir adalah pelanggaran di luar hudud dan qishash, yaitu kejahatan yang mana hukumannya tidak ditetapkan dalam Alquran, karena itu tergantung kebijaksanaan hakim. Pelanggaran ini termasuk perjudian, penipuan, pemalsuan dokumen, khalwat, tidak berpuasa dalam bulan Ramadan dan meninggalkan shalat. Ta’zir juga dapat termasuk pelanggaran yang mengganggu ketertiban umum atau merusak kepentingan umum seperti pelanggaran lalu lintas
  2. Bahwa kedudukan hokum pidana (Qanun jinayat) di aceh tetap berlaku berdasarkan otonomi khusus dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di atasnya.

[1] Kamaruzzaman Bustamam Ahmad, Islamic Law in Southeast Asia – a Study of Its Application in Kelantan and Aceh, Chiang Mai: Silkworm Books, 2009, hlm.45 – 7

[2] Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 442.

[3] Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, PT Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hlm. 357.

[4] Menurut kamus besar bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm. 411, kata sejenis dapat diartikan dengan sebangsa, semacam atau serupa.

[5] Pasal 1 angka 21 UU No. 11 Tahun 2006.

[6] Pasal 1 angka 22 UU No. 11 Tahun 2006.

[7] Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004.

[8] Lihat ketentuan dalam Pasal 125 UU No. 11 Tahun 2006.

[9] Kamus Besar Bahasa Indoensia, Op. Cit., hlm. 411.

[10] Telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

[11] LIPI, Studi Kritis terhadap Pemberlakuan Syariat Islam sebagai Hukum Materiil dan Pembentukan Mahkamah Syariyah sebagai Lembaga Peradilan Khusus Di Nanggroe Aceh Darussalam, makalah dibuat sebagai bentuk partisiapasi dalam kegiatan pemilihan peneliti remaja VI tahun 2007, hlm. 1.

[12] Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Asas lex specialis derogaat lex generalis mempunyai arti bahwa peraturan yang khusus mengenyampingkan yang umum. Perlu dipikirkan kembali sejauh mana atau batasan-batasan dari suatu qanun sehingga dapat mengenyampingkan peraturan perundang-undangan lain.

[13] Rusjdi Ali Muhammad, Revitalisasi Syariat Islam di Aceh, Problem, Solusi dan Implementasi Menuju Pelaksanaan Hukum Islam di Nanggroe Aceh Darussalam, (Jakarta: Logos, 2003), Cet. I, hlm. 152.

[14] Lihat Qanun Aceh tentang Hukum Jinayah dalam konsideran menimbang huruf a dan b.

[15] Abubakar , ”Naskah,” hlm. 5-7.

[16] Alyasa Abubakar, “Beberapa Catatan Akademik atas Rancangan Qanun Propinsi Nomor 12, 13 dan 14 Tahun 2003 dan Penggabungannya menjadi Satu Qanun,” Banda Aceh, 13 Oktober, 2007, hlm. 1-2.

[17] Abubakar, ”Naskah,” hlm. 5.